Lombok & suku sasak

•Februari 25, 2009 • 4 Komentar

dsc00020lah…iki Arjuna opo Armada…

Lombok ,bukan cabe

Menurut Babad Lombok, kerajaan tertua di pulau Lombok bernama Kerajaan Laeq, tetapi sumber lain menyatakan, bahwa kerajaan tertua adalah Kerajaan Suwung yang dibangun dan diperintah oleh seorang raja Betara Indera, sebagaimana disebutkan dalam Babad Suwung. Setelah Kerajaan Suwung ini surut muncul kerajaan Lombok. Pada abad IX-Xl berdiri Kerajaan Sasak dan berakhir setelah ditaklukkan oleh salah satu kerajaan yang ada di Bali saat itu. Selain itu, beberapa kerajaan yang pernah berdiri di pulau Lombok adalah Pejanggik, Langko, Bayan, Sokong Samarkaton dan Selaparang, yang disebut terakhir selama dua periode yaitu Selaparang periode Hindu/Pra Islam dari abad XIII yang berakhir dengan kedatangan ekspedisi Kerajaan Majapahit pada tahun 1357 dan Selaparang periode Islam yang muncul pada sekitar abad XVI dan berakhir 1740 setelah ditaklukkan oleh pasukan gabungan Kerajaan Karang Asem, Bali dan Banjar Getas. Setelah ekspedisi Majapahit dibawah pimpinan laksamana Nala ke Lombok dan Dompu pada tahun 1357, kerajaan-kerajaan di Sumbawa Barat dan Sumbawa Timur mulai ada. Sebelum itu penduduk asli di pulau Sumbawa merupakan kelompok-keiompok kecil, yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala suku. dikalangan masyarakat Mbojo disebut Niceki dan di dalam masyarakat suku bangsa Samawa disebut Tau Lokaq. Kerajaan-kerajaan di Sumbawa Timur dimaksud adalah Kerajaan Bima Sanggar dan Dompu. Sementara di Sumbawa Barat Kerajaan Utan Kadali, Seran dan Taliwang, sebagaimana disebut di dalam kitab Negarakertagama. Berkembangnya agama Islam serta munculnya kerajaan-kerajaan yang bersendikan agama telah mempercepat proses runtuhnya Kerajaan Majapahit. Seiring dengan itu, seluruh kerajaan yang ada di Lombok yang selama ini berada di bawah kekuasaan Majapahit menjadi kerajaan yang merdeka dan mandiri. Demikian juga dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Sumbawa. Diantara kerajaan-kerajaan di pulau Lombok yang baru memerdekakan diri tersebut, salah satu yang paling terkemuka dan terkenal diseluruh Nusantara saat itu adalah Kerajaan Lombok, yang terletak di Teluk Lombok yang kini dikenal dengan nama Labuan Lombok. Kerajaan Lombok inilah yang beberapa tahun kemudian, oleh pangeran (Sunan) Prapen, Putra Sunan Giri dijadikan sebagai Basis Islamisasi Pulau Lombok. Setelah Sunan Prapen berhasil menjalankan tugasnya di pulau Lombok ia meneruskan misinya ke Pulau Sumbawa, yang disinipun ia berhasil dengan gemilang menyebarkan agama Islam. Sepeninggal Sunan Prapen, atas dasar pertimbangan strategis, Prabu Rangkesari yang menggantikan Prabu Mumbul sebagai raja Kerajaan Lombok memindahkan ibukota yang semula terletak di Teluk Lombok ke bekas Kerajaan Selaparang (periode Hindu), yaitu Selaparang seperti nama keraiaannya. Rupa-rupanya kerajaan Lombok yang memindahkan pusat Kerajaan lnilah yang dikemudian hari dikenal sebagai Kerajaan Selaparang periode Islam. Kedatangan Belanda, setelah sebelumnya Portugis, semakin memanaskan suasana politik dan meningkatkan dinamika sosial budaya di seluruh Nusantara, termasuk di semua wilayah Nusa Tenggara. Dengan tujuan untuk menutup jalur Kristensasi dari timur ke barat oleh Portugis, maka pada bulan Juni 1618 sesuai dengan yang tercacat di dalam Tambo Gowa dan Tallo, Kerajaan Gowa menaklukkan dan mempersatukan kerajaan-kerajaan yang ada di Sumbawa Barat. Kemudian berturut-turut pada tahun 1633, Gowa menaklukkan Bima, Tambora Sanggar dan Dompu, serta tahun 1640 menundukkan Selaparang. Namun yang perlu dicacat ialah bahwa penaklukan-penaklukan tersebut lebih banyak dilakukan dengan cara kultural dan spiritual. Artinya secara damai melalui perkawinan antara keluarga raja dan kesepakatan untuk mempertahankan iman Islam diantara mereka. Namun demikian usaha dan upaya Belanda terus menerus untuk menguasai Nusantara lambat laun mernbawa hasil pada tanggal 18 Nopember 1667 VOC berhasil memaksa Sultan Hasanuddin sebagai penguasa Gowa untuk menandatangani perjanjian yang terkenal dengan perjanjian Pongaya. Akibat dari perjanjian itu adalah mundurnya Gowa dari kerajaan-kerajaan yang ada dibawah kekuasaannya. Kerajaan Karangasem/Singasari, Bali, yang sejak lama mengincar pulau Lombok, baru berhasil menguasainya pada tahun 1470 setelah kerajaan ini melakukan persekutuan dengan Arya Banjar Getas. Maka sejak saat itulah pengaruh Bali kembali mewarnai kehidupan sosial, politik dan budaya suku. bangsa Sasak. Disamping itu, Belandapun terus menerus melakukan penetrasi politik dan kekuatan militernya, yang akhirnya menguasai pulau Lombok dan Sumbawa sampai dengan kedatangan Jepang yang mengalahkannya pada tahun 1942.

Adat istiadat dan kebudayaan

Timbulnya adat dalam kebudayaan, adalah dari kebiasaan sehari-hari, menjadi tradisi atau teradat, serta didukung oleh falsafah yang sangat menguntungkan bagi para penganutnya dalam perkembangannya. Ia mengalami sentuhan dengan lingkungan sekitarnya. Ditambah lagi dengan masuknya aliran keyakinan, yaitu agama yang mula-mula hanya merupakan pengaruh. Tapi kemudian menjadi penunjang yang kuat dan menjadi sendi dari adat yang tidak dapat dipisahkan. Proses yang demikian inilah juga yang dialami oleh masyarakat Sasak di dalam perkembangannya.    Untuk meneliti sampai dimana kebenarannya, marilah kita mencoba kembali sejenak kepada perkembangan sejarah. Perkembangan sejarah yang diungkapkan oleh budayawan, Drs.H.Djalaludin Arzaki pada suatu percakapan.    Terjadinya adat istiadat suatu golongan, dia sejalan atau selaras dengan perkembangan sejarah manusia. Begitu manusia ingin tahu, maka mulai waktu itulah timbul suatu kebiasaan yang dapat dikatakan adat. Kebiasaan ini akan disiplin, jika ia mengadakan sentuhan dengan manusia lain, supaya tidak saling singgung menyinggung, atau dengan kata lain, tidak saling merugikan, karena masing-masing dikekang oleh peraturan yang akhirnya menimbulkan disiplin, menimbulkan pembatasan disi yang kemudian menjadi suatu peraturan. Peraturan yang dimaksud adalah, peraturan yang saling tidak merugikan. Dengan sadar atau tidak, ia merupakan satu kesepakatan secara tidak tertulis.    Karena adanya kesepakatan tidak saling merugikan, sebaliknya timbul hal-hal dengan sadar, kemudian menimbulkan sangsi sebagai pembatasannya. Sangsi ini merupakan hukuman, jika kesepakatan itu dilanggar.    Penduduk Pulau Lombok yang sekarang menamakan siri orang Sasak, kebanyakan atau sebagian besar merupakan pendatang. Karena menurut para ahli, penduduk asli Pulau Lombok, hingga sekarang belum dikenal. Rupanya ribuan tahun yang lalu, ketika Gunung Rinjani meletus, semua penduduk yang mendiami Pulau Lombok habis musnah, dan kemudian dihuni oleh pendatang baru dari Jawa, wilayah Blambangan, Jawa Timur, dari bali, dari Bugis Makasar, Sumbawa, yang kemudian menamakan diri sebagai orang Sasak.. Lama kelamaan, dengan datangnya Agama Islam, menjadi pemeluk Agama Islam.    Meskipun mereka menyebut diri sebagai orang Sasak dan memeluk Agama Islam, namun budaya dan adat istiadatnya, masing-masing suku yang mereka bawa, dapat dilihat adanya perbedaan antara pendatang. Misalnya yang datang dari Sulawesi dengan pendatang berasal dari Jawa. Demikian pula dari kelompok lainnya. Namun pendatang oleh penguasa Karang Asem, karena masih mempertahankan agamanya yaitu, Agama Hindu. Kelompok-kelompok ini berada di Cakranegara dan sekitarnya. Semuanya membawa nama kampung dari mana asal mereka di bali. Misalnya, dari Desa Sampalan, tetap mempertahankan nama desa dari mana asalnya. Hanya dengan menambah nama “karang” di depannya, yaitu “Karang Sampalan”. Demikian pula dari kelompok yang dari Desa Kecicang. Kelompok ini masih memakai nama Kecicang, hanya menambah nama menjadi Karang Kecicang, Karang Siluman, Karang Medayin, Karang Mas-Mas, Karang Buaya, sampai sekarang masih dipertahankan.    Adapun desa-desa yang datang dari berbagai pulau yang diterangkan di atas, meskipun mereka tidak menamakan dirinya sebagai Suku Sasak dan sudah beragama Islam, namun adat dan budayanya tidak sekaligus dapat bersatu. Karena mereka asing-masing membawa adatnya, yang kadang-kadang terdapat pertentangan antara satu kelompok dengan kelompok lain, yang justru menganggap dirinya paling benar. Menanggapi hal ini, maka timbullah istilah, “lian desa lian adat, atau lain tutah lain jagat” berarti, lain desa lain pula adat, yang dapat menimbulkan silang sengketa, yang terkadang satu sama lain, tidak ada yang mau mengalah.    Untuk menyelesaikan perselisihan dan turut campurnya pemerintah di dalamnya yang memang itu harus dilakukan, lalu timbul falsafah yang berbunyi; “lian desa lian adat, nanging sami kawinku negara” yang artinya, persengketaan atau perselisihan yang timbul dari masyarakat yang kecil, harus menyerahkan diri kepada pemimpin yang lebih besar dan luas. Dengan berdasar kepada, kepentingan orang banyak lebih baik dari pada kepentingan pribadi atau golongan.    Dalam adat perkawinanpun, hal ini bisa terjadi. Karena situasi dan kondisi antara satu desa dengan desa lain tidak sama, maka dalam perkembangannya, masuknya pengaruh itu tidak sama pula. Dan dalam tempo yang lama, nampak jelas perbedaan-perbedaan, bahkan terliha juga adanya pertentangan antara adat satu desa dengan desa yang lain. Maka sejak itulah muncul falsafah yang selalu diucapkan dalam sorong serah aji karma yang berbunyi; lain tutuq lain jajak, lain desa lain adat yang kira-kira diartikan, sama dengan lain lubuk lain ikannya.Karena perbedaan itu dapat juga menimbulkan permusuhan antara satu desa dengan desa lain, karena masing-masing desa menganggap diri berdaulat dalam adat, ingin mendominasi adatnya terhadap desa yang lain. Namun kempali kepada pikiran manusia yang semakin maju dan bijaksana. Dan memunculkan mufakat dengan tambahan kalimat yang berbunyi; “nanging sami hamengku negare” sehingga kalimat keseluruhannya berbunyi; “Lain desa lain adat, nanging sami hamengku negare”. Diartikan kira-kira pengertian bahwa, setiap desa dapat menetapkan adatnya masing-masing. Namun harus tunduk kepada aturan, agar tidak terjadi pertentangan antara satu desa dengan desa lainnya. Hal inilah merupakan proses yang dialami oleh masyarakat Sasak di dalam perkembangan hidup dan kehidupannya dalam menerapkan adatnya.
Sekarang, tujuan kita hanya mengetahui, karena Pulau Lombok yang kecil mungil ini, yang mungkin berpuluh-puluh tahun silam, dikenal sebagai pulau yang penduduknya selalu menderita, kekurangan makan, yang kemudian disebut sebagai daerah “honger”. Dan ini yang menjadi beban pemerintah. Padahal apa yang terpendam di dalamnya, masih dapat dibanggakan dan disejajarkan dengan pulau lain tetangganya.    Dari segi budaya, seni dan kekayaan lainnya, pun sebenarnya masih dapat diikutsertakan dalam forum nasional. Tujuan lain adalah, sebagai awal penggalian kekayaan Pulau Lombok yang sudah sekian lama terpendam dalam lumpur tentang budaya, seni, adat istiadat serta benda-benda bersejarah lainnya.

Upacara Adat

Merarik : Upacara Pernikahan Khas Sasak, Nusa Tenggara Barat

A. Asal-usul

“Saya tidak ingin menikah dengan seorang laki-laki yang tidak berani mengambil resiko melarikan diri dengan saya. Dia akan kelihatan lemah, baik di mata saya maupun orang lain dari desa saya bila dia meminta izin kepada ayah saya. Sebenarnya ayah saya akan melemparnya ke luar rumah bila dia mencoba melakukan hal itu” (Bartholomen, 2001: 204).

Membicarakan pernikahan Sasak, tidak bisa tidak membicarakan merarik, yaitu melarikan anak gadis untuk dijadikan istri. Merarik sebagai ritual memulai perkawinan merupakan fenomena yang sangat unik, dan mungkin hanya dapat ditemui di masyarakat Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Begitu mendarah dagingnya tradisi ini dalam masyarakat, sehingga apabila ada orang yang ingin mengetahui status pernikahan seseorang, orang tersebut cukup bertanya apakah yang bersangkutan telah merarik atau belum. Tulisan Bartholomen di atas secara jelas menunjukkan bahwa merarik merupakan hal yang sangat penting dalam perkawinan Sasak. Bahkan, meminta anak perempuan secara langsung kepada ayahnya untuk dinikahi tidak ada bedanya dengan meminta seekor ayam (Bartholomen, 2001: 195).

Menurut Judith Ecklund (1977: 96), pada tahun 1970-an merarik secara kultural dilakukan oleh sekitar 95 % masyarakat Sasak untuk memulai perkawinan. Tradisi ini bagi masyarakat Sasak seringkali dianggap sebagai kawin lari, sehingga mas kawin yang dibayarkan disebut hadiah kawin lari (sajikrama). Selain itu, walaupun sebenarnya mengadopsi tradisi orang-orang Bali, pelarian diri seolah-olah merupakan inti sari dari praktek perkawinan Sasak,.

Walaupun merarik merupakan tradisi impor dari Bali, dalam perkembangannya tradisi ini menjadi cara paling terhormat bagi laki-laki Sasak untuk menikahi seorang perempuan. Alasannya, merarik memberikan kesempatan kepada para pemuda, yang hendak beristri, untuk menunjukkan kejantanannya (Bartholomen, 2001: 203). Sifat jantan merupakan simbolisasi sosok suami yang bertanggungjawab dalam segala kondisi terhadap keberlangsungan keluarganya. Orang laki-laki yang melakukan merarik telah membuktikan dirinya sebagai seorang pemberani. Hal ini karena pelaku merarik, sebagaimana diatur dalam ketentuan adat Sasak, harus menghadapi bahaya dibunuh apabila tertangkap. Sedangkan bagi mereka yang tidak melakukan merarik dianggap lemah dan tidak pantas menjadi seorang suami sebagaimana kutipan pada awal tulisan ini.

Untuk meminimalisir bahaya yang harus ditanggung pelaku merarik, maka segala cara digunakan agar pada saat melakukan merarik tidak tertangkap oleh masyarakat, misalnya dengan menggunakan kekuatan magis. Dengan menggunakan kekuatan magis, seorang lelaki dapat memanggil gadis pujaannya secara gaib dari tempat yang cukup jauh. Cara ini meminimalisir bahaya merarik.

“…satu malam ketika dia sedang dudu-duduk di rumahnya memikirkan mengenai menu makan malam, sebuah perasaan aneh datang kepadanya. Tiba-tiba, dia merasa dipaksa berjalan ke sawah dipinggiran desanya. Dalam keadaan linglung dan melayang, dia berjalan tanpa tujuan di sepanjang jalanan sepi hingga bertemu dengan seorang yang berdiri di depan tempat berdirinya…..” (Bartholomen, 2001: 194)

Seiring perkembangan zaman, jumlah orang yang melakukan merarik semakin sedikit (Bartholomen, 2001: 202). Bahkan, merarik yang dilakukan terkadang hanya bersifat simbolis belaka, yaitu dengan ”sepengetahuan” kedua orang tua si gadis. Perkelahian yang mungkin timbul akibat dari tertangkapnya orang yang melakukan merarik juga dilakukan hanya untuk menggugurkan ketentuan adat. Misalnya, walau orang yang melakukan merarik dikeroyok oleh puluhan warga, pada akhirya dia mampu membebaskan diri.

Terlepas dari semakin tidak populernya merarik sebagai ritual awal perkawinan Sasak, ritual ini telah melahirkan sebuah perkawinan yang khas masyarakat Sasak. Mas kawin yang harus diserahkan oleh pihak laki-laki, misalnya, disebut sajikrama (hadiah kawin lari). Barang yang digunakan sebagai sajikrama merupakan sanksi yang dibebankan kepada mempelai laki-laki karena melarikan anak gadis orang. Oleh karenanya, besarnya sajikrama dihitung berdasarkan pelanggaran yang mungkin saja terjadi sebelum, selama, dan sesudah penculikan. Kemungkinan denda yang harus dibayarkan antara lain (Budiwanti, 2000: 252-254): pertama, ngampah-ngampah ilen pati. Denda ini dijatuhkan karena orang tua mempelai wanita merasa bahwa sebelum, selama, dan sesudah melarikan si gadis, mempelai pria telah mempermalukan anak mereka, misalnya sebelum acara merarik si pria mengunjungi si gadis terlebih dahulu. Padahal menurut adat Sasak, seorang pemuda tidak boleh menyambangi atau mengunjungi gadis yang hendak dia curi.

Kedua, terlambat salabar, yaitu denda yang harus dibayar oleh mempelai laki-laki apabila orangtua mempelai perempuan menganggap keluarga mempelai pria terlambat mengabarkan penculikan anak gadis mereka. Menurut adat Sasak, waktu toleransi untuk memberikan kabar penculikan adalah tiga hari. Lebih dari tiga hari, maka pihak pengantin laki-laki harus membayar denda terlambat salabar. Bahkan, adakalanya juga harus membayar ngampah-ngampah ilen pati karena telah membikin malu keluarga pengantin perempuan.

Ketiga, dosan jeruman. Denda ini harus dibayarkan oleh mempelai laki-laki karena dia menggunakan perantara dalam melakukan pelarian diri anak gadis orang. Keempat, lain keliang. Denda yang dibayarkan karena mempelai pria berasal dari tempat yang berbeda, misalnya si gadis berasal dari Sasak, sedangkan mempelai prianya berasal dari Jawa. Kelima, ajin gubug. Denda ini dibayarkan atas permintaan komunitas tempat mempelai wanita tinggal. Keenam, turunan bangsa. Denda ini dibebankan kepada pengantin pria yang mempunyai status sosial lebih rendah daripada pengantin perempuan. Oleh karena perkawinan model ini menyebabkan status sosial perempuan menjadi turun, maka pembayaran turunan bangsa pada hakekatnya adalah konpensasi kehilangan status sosial tersebut. Semakin tinggi status sosial perempuan, semakin besar pula denda turunan bangsa yang harus dibayarkan oleh pihak mempelai laki-laki. Dan ketujuh, lain-lain. Sajikrama ini dibayarkan untuk pengembangan sarana publik, seperti pembangunan dusun, madrasah, masjid, dan lain sebagainya.

Beragam denda yang mengikuti merarik, menjadikan biaya yang harus ditanggung pengantin laki-laki sangat besar. Kondisi ini, tidak saja memberatkan mempelai laki-laki tetapi juga meletakkan perempuan pada posisi dilematis. Aturan-aturan tersebut menyebabkan perempuan tidak bebas memilih pasangan hidupnya, karena harus menunggu orang yang mampu membayar sajikrama. Salah seorang responden, misalnya, mengatakan bahwa banyak orang tidak menggunakan adat Sasak dalam perkawinannya karena biaya yang harus dikeluarkan sangat besar. Kondisi ini menyebabkan sejumlah perempuan Sasak, khususnya golongan bangsawan, tidak menikah (Budiwanti, 2000, 261). Fenomena ini, dengan mengutip salah satu anggota masyarakat Sasak, digambarkan oleh Budiwanti sebagai berikut:

”…para bangsawan … punya kekuatan besar untuk menentukan harga mempelai wanita. Apabila mempelai pria berasal dari status yang lebih rendah dari mempelai wanitanya, maka permintaan mereka akan harga mempelai wanita bukan alang kepalang besarnya dan di luar kesanggupan untuk membayarnya. Tidak mengherankan jika tuntutan ini menjadi bumerang bagi kaum bangsawan itu sendiri. Siapa orangnya yang berani mengawini putri mereka, kalau mempelai pria harus membayar 11 ekor sapi…… Permintaan harga mempelai wanita itu telah mengganjal langkah orang-orang kebanyakan untuk kawin lari dengan putri-putri mereka”

Lebaran Tinggi (Perayaan Ritual Idul Fitri di Lombok, Nusa Tenggara Barat)

Idul Fitri adalah hari kemenangan, di mana umat Islam difitrahkan (disucikan) kembali setelah menjalankan ibadah puasa. Kesadaran akan capaian mereka kembali kepada jati diri nan fitri itu diharapkan akan menjadi semacam pengawasan yang melekat dan bahkan spirit dari dalam diri yang kuat untuk terus meningkatkan kualitas hidupnya, sebagaimana telah dilakukan pada bulan puasa. Setelah dididik melalui momentum puasa, maka untuk merayakannya umat Islam mengadakan syukuran atas nikmat fitri (kesucian seperti bayi yang baru lahir) yang dikaruniakan Allah melalui Idul Fitri.

Ungkapan syukur akan nikmat Allah tersebut juga dilakukan oleh orang-orang Islam Wetu Telu di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Setelah melakukan beragam ritual sejak sebulan sebelum puasa (Rowah Wulan dan Sampek Jum‘at) dan pada malam bulan Ramadhan seperti upacara Meleman Qunut, Maleman Likuran, dan Maleman Pitrah, mereka mengadakan Lebaran Tinggi, merupakan ungkapan orang Islam Wetu Telu untuk menyebut hari raya Idul Fitri. Ungkapan Lebaran Tinggi merupakan cara orang Islam Wetu Telu untuk menunjukan bahwa upacara yang diadakan sebagai penutup bulan Ramadhan tersebut mempunyai nilai yang sangat penting.

Rowah Wulan dan Sampek Jum`at (Lombok, Nusa Tenggara Barat)

Ramadhan merupakan bulan istimewa. Bak seorang tamu agung dan suci, Ramadan selalu disambut penuh antusias oleh umat Muslim. Masyarakat di berbagai daerah memiliki cara-cara yang berbeda untuk menyambutnya. Perbedaan cara tersebut dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya, dan latar belakang sejarah yang menyertai masyarakat serta, secara khusus, persepsi dan pengharapan terhadap bulan Ramadhan itu sendiri. Karena prosesnya berlangsung sejak lama dan bersifat turun-temurun, maka formalisasi cara-cara tersebut menjadikannya sebagai sebuah tradisi.

Salah satu tradisi penyambutan bulan Ramadan yang dianggap khas bisa terlihat dari upacara yang dilakukan oleh orang-orang Sasak golongan Wetu Telu di Lombok, Indonesia. Sejak sebulan sebelum bulan Ramadhan, penganut Wetu Telu mengadakan rowah wulan dan sampek jumat sebagai bentuk penyambutan dan pemuliaan bulan Ramadhan, walaupun penganut Wetu Telu tidak berpuasa selama satu bulan penuh. Rowah Wulan diselenggarakan pada hari pertama bulan Sya‘ban sedangkan Sampek Jumat pada Jumat terakhir bulan Sya‘ban atau disebut Jum‘at penutup.

Walaupun penganut Wetu Telu tidak berpuasa selama satu bulan penuh karena pemahaman yang berbeda terhadap bulan Ramadhan dan juga karena pengaruh adat istiadatnya seperti kebiasaan memamah sirih pada pagi, siang, ataupun sore hari, tetapi ketika bulan puasa menjelang, mereka menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang guna menjaga kesucian bulan Ramadhan. Penganut Wetu Telu diminta untuk menunda semua upacara (ritus) peralihan individu (begawe) seperti nguringsang (pemotongan rambut), nyunatang (khitan), dan ngawinang (perkawinan) karena perayaan tersebut akan merusak kesucian bulan Ramadhan. Bahkan jika ada salah satu anggota keluarga yang meninggal dunia, keluarganya harus menyelenggarakan upacara kematian secara sederhana dan menangguhkan upacara pasca kematian sesudah bulan Ramadhan.

Dalam menentukan kapan waktu pelaksanaan upacara, penganut Wetu Telu menggunakan neptu (perhitungan tradisional). Penggunaan neptu sebagai penentu pelaksanaan upacara menunjukkan bahwa setiap kelompok mempunyai cara-cara dan logika tersendiri kapan melaksanakan upacara.

Curug Cipendok

•Februari 24, 2009 • 3 Komentar

Curug Cipendok,-

Dari arah losari tepatnya dari desa sesudah ajibarang kota tercinta yang bikin aku rindu kampung halaman,tepatnya di kabupaten bayumas, jawa tengah.terlihat garis turun seperti halnya percikan air yang jatuh.tepatnya jika kita menghadap ke utara,dari kejauhan saja sudah bikin kita takjub dan membuat kita penasaran.melalui beberapa desa dari jalan raya sekitar 15km kita bisa melihat betapa indahnya ciptaan tuhan,yaitu berupa Air terjun yang cukup tinggi dan besar kurang lebih 35 m dengan di kelilingi hutan yang masih sangat asri dan rindang.udara sejuk dan gerimis menambah keriangan dan kesejukan perasaan kita dengan menikmati pemandangan tersebut.sayangnya curug cipendok tersebut kurang di minati para pengunjung yang di karenakan oleh beberapa faktor,yaitu mungkin di karenakan Promosi dari dinas pariwisata dan pengelolaan tempat wisata yang kurang.lebih lebih di tambah dengan tidak adanya kendaraan umun yang menuju curug tersebut.alhasil curug tersebut hanya dapat di nikmati oleh orang yang mempunyai kendaraan pribadi saja.Ramainya pengunjung biasanya pada bulan bulan tertentu seperti agustus,liburan sekolah dan puncaknya biasanya pada hari raya idul fitri.sangat di sayangkan jika keindahan dan ekosistem yang jika kita cermat mengolah pasti akan dapat di nikmati oleh khalayak umum,dan sebagai sumber pendapatan daerah.curug-cipendok

marilah kita sebagai warga yang baik, bersama kita lestarikan dan jaga alam di sekitar kita.demi kelangsungan segala hal dan kehidupan yang sehat denga melakukan perbuatan positiv.

farent muh chandra

west cave

•Februari 19, 2009 • 3 Komentar

goa barat

Goa barat

Goa barat adalah salah satu goa yang terdapat di daerah kebumen/jawa tengah, tepatnya di desa jati jajar kecamatan ayah.di daerah tersebut memang terkenal sebagai daerah yang banyak di temukan goa  baik janis vertical maupun jenis horisontal.menurut hasil survey UPL Unsoed (universitas jendral soedirman) goa yang berada di daerah tersebut kurang lebih sebanyak seratus lebih yang sudah tercatat,itupun sekitar 75% belum terjamah.Pada menjelang akhir tahun 2008 saya beserta rekan dari UPL unsoed berjumlah 9 orang melakukan penyusuran ke goa barat, dari purwokerto kami berangkat pukul 12 siang,sesampai di basecamp jam 14:30 ,setelah kami lakukan persiapan ,packing, beserta pengecekan alat maupun perlengkapan sehabis maghribpun kami siap untuk melakukan penyelusuran.Peralatan untuk melakukan selusur goa terdiri dari Senter, lampu bum, helm, tali/webing, sepatu boat dan peralatan yang lain. Karena jenis goa yang kita selusuri adalah jenis basah yang berarti sebuah aliran sungai bawah tanah maka kita harus memakai Pelampung juga.Pintu goa dari kita masuk terlihat sangat kecil, tapi begitu kami sampai di aliran air ternyata diameter goa sangat besar sekali kurang lebih sekitar 12 meter.Air cukup jernih dan dingin tapi dengan melihat indahnya sendimen/stalaktid rasa cape dan lelah pun hilang,di tambah dengan melihat udang dan belut raksasa alias pelus di sepanjang penyelusuran.setelah kita lakukan selama 4 jam kita menemukan dataran rata di atas aliran sungai goa tersebut, akhirnya kita putuskan untuk beristirahat sejenak. perjalananpun kita lanjutkan setelah 1 jam lebih  kita temui curug yang sangat memukau dengan tinggi sekitar 10 meter.bayangkan saja di dalam goa kita temui sebuah air terjun yang sangat indah dengan kubangan di bawahnya yang sangat luas pula.tak puas dan masih penasaran juga akhirnya kita putuskan untuk memanjat air terjun tersebut dengan menggunakan tali.sambil bergelantungan dan melawan arus air kita pun akhirnya dapat sedikit melintas air terjun tersebut, namun karena kita temukan medan yang cukup meninggi akhirnya kita putuskan untuk kembali karena kehabisan tali maupun webing.untuk istirahat kita putuskan di daerah peristirahatan pertama tadi di daerah rata di atas aliran sungai yang di sebut Ratamba yang berarti  rata, dawa, amba menurut bahasa jawa.pagi sekitar jam 8 kami sudah mulai bersiap siap kembali menuju ke mulut goa.ternyata kehidupan di dalam goa siang ataupun malam sama saja…gelap.setalah sarapan kami langsung meluncur keluar dari goa.ups…untuk menu makan di goa sungguh service yang sangat luar biasa.karena beberapa team kami ada chief manager restorant japan.kita pun sampai lebih cepat dari waktu  masuk ,karena arus yang membawanya.

 Tidak ada URL Berkas URL Lampiran  Masukkan sebuah URL taut atau klik tombol di atas untuk memakai yang sudah disiapkan.

Tidak ada URL Berkas URL Lampiran Masukkan sebuah URL taut atau klik tombol di atas untuk memakai yang sudah disiapkan.

Pada tahun 2000an peneliti dari perancis melakukan penyelusuran dan penelitian di goa tersebu.tapi belum pernah ada yang mencapai ke titik akhir.konon kabarnya di dalam goa tersebut terdapat sebuah danau yang sangat luas dan indah.

Aku masih penasaran akan hal tersebut, dan rindu akan suasana air terjun tersebut.kapan yah kesana lagi?

Gunung Slamet

•Februari 18, 2009 • 3 Komentar

view slamet photos

gunungslamet

Rinjani

•Januari 29, 2009 • 4 Komentar

Gunung Rinjani adalah gunung yang berlokasi di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Gunung yang merupakan gunung berapi kedua tertinggi di Indonesia dengan ketinggian 3.726 m dpl sorta terletak pada lintang 8º25′ LS dan 116º28′ BT ini merupakan gunung favorit bagi pendaki Indonesia karena keindahan pemandangannya. Gunung ini merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Rinjani yang memiliki luas sekitar 41.330 ha dan ini akan diusulkan penambahannya sehingga menjadi 76.000 ha ke arah barat dan timur.

Secara administratif gunung ini berada dibawah tiga kabupaten yaitu: Lombok Timur, Lombok Tengah dan Lombok Barat. Di sebelah barat kerucut Rinjani terdapat kaldera dengan luas sekitar 3.500 m × 4.800 m, memanjang kearah timur anda barat. Di kaldera ini terdapat Segara Anak (segara= laut, danau) seluas 11.000.000 m persegi dengan kedalaman 230 m. Air yang mengalir dari danau ini membentuk air terjun yang sangat indah, mengalir melewati jurang yang curam. Di Segara Anak banyak terdapat ikan mas dan mujair sehingga sering digunakan untuk memancing menurut penduduk sekitar ikan tersebut dahulu ibu tien suharto menebar benih ikan tersebut dengan helli sehingga sampai sekarang ikan tersebut jumlahnya tak terhingga banyaknya. Dengan warna airnya yang membiru, danau ini bagaikan anak lautan, karena itulah disebutSegara Anak“. Bagian selatan danau ini disebut dengan Segara Endut. Di sisi timur kaldera terdapat Gunung Baru (Gunung Baru Jari) yang memiliki kawah berukuran 170m×200 m dengan ketinggian 2.296 – 2376 m dpl. Gunung kecil ini terakhir meletus pada tahun 2004.Pada umumnya pendakian ke rinjani dapat di lakukan melalui tiga jalur.yaitu jalur senaru,jalur yang paling banyak di gunakan oleh pendaki baik domestic ataupun dari berbagai belahan dunia.sembalun,biasanya di gunakan untuk trek pulang dari senaru dan yang terakhir adalah torean,torean sangat jarang di gunakan karena terjalnya medan dan sepinya pendaki,padahal torean mempunyai keindahan yang tersendiri di banding dengan trek yang lain ,di antaranya terdapat beberapa curug, goa dan air panas yang konon bila kita mandi serta berdoa akan terkabulkan keinginan kita.Pada tahun 2007 tepatnya di bulan juni saya beserta pendaki lainya melewati jalur senaru dan turun di torean.memang sungguh menakjubkan pemandangan dan suasana alam yang di ciptakan oleh tuhan.

Wikipedia & Farent M Chandra,-